Kuntum-kuntum Teratai
Sore temaram menyambut pulang kerjaku yang seharian penuh tanpa ampun. Setumpuk kertas menunggu di sentuh kembali, pekerjaan kantor yang tak sempat ku selesaikan semua akibat migranku yang sering kambuh sekarang. Ku rebahkan badanku sekedar mengguyur lemas biar sedikit berkurang.
Dari dalam tasku, satu suara berdering pelan, memang sengaja ku setting phonselku lebih pelan agar tidak mengganggu. Satu sms ku terima di inboxku, dari Arni. “ Ma, minggu depan 12 februari jadwal pengambilan hasil UN..mama pasti bisa datangkan? Mungkin dia tak sabar menunggu sampai rumah. Ah Arni, akhirnya anakku hampir sampai di tahap akhir jenjang SMAnya. Sebagai bundanya, jujur akupun ikut merasa tak karuan, dengan hasil yang akan ku lihat ketika membuka amplop kelulusan nanti.
Tapi ku pikir Arni telah ku didik ketat untuk fokus pada tujuannya, karena aku tidak ingin arni mengulang sakit yang pernah ku rasakan dulu. Satu hal yang yang terjadi sama sekali tidak menghiraukankan orang lain, bagiku dulu apa yang kumau adalah pilihanku, tidak peduli orang lain mau bilang apa. Karena hidupku, adalah milikkku. Hingga akhirnya, karena pilihanku itu, orang lain pun tak hirau akan luka pedihku. Titik terkelam kehidupanku berawal dari kecerobohanku sendiri, yang begitu mudah percaya dan terbuai manis rayu makhluk bernama lelaki.
Andai hidup seperti arus air, mungkin sederas apapun masih tetap bisa di bendung. Namun hidup tetaplah hidup, berjalan sesuai perjanjian di awal kontrak kehidupan.. tak ada yang bisa menolak. Nenekku pernah bilang, separoh dari kehidupan itu milik kita, kita boleh mengaturnya sejauh yang kita bisa. Namun aku tercipta terlalu lemah, sehingga separoh kehidupanku harus ikhlas dijerat takdir yang sebenarnya juga enggan memenjarakanku. Aku terlalu pasrah. dan inilah aku yang lemah itu. Dengan pejuanganku bertahan hidup bersama anakku ketika suamiku pergi ketika bayiku masih 6 bulan.
“Dasar anak tak tau di untung, anak haram, tiap hari biasanya menangis saja”suara keras bentakan ibu mertuaku, menembus tembok rumah . Perih menyayat bagiku, dan ini ku dengar hampir tiap hari. Seandainya saja mulutku ini bisa lebih “cakap” mungkin akan segera ku cecar mertuaku. Tidak sadarkah beliau bahwa itu adalah anak dari anaknya,’’anak haram” yang di labelkan pada anakku menerbitkan sesal tak tertahankan. Sesal akan dosa-dosa laluku yang demikian mudah lumpuh terbuai mulut manis laki-laki yang sekarang menjadi suamiku.
Laki-laki yang tanpa sedikitpun ikhlas bertanggung jawab atas perbuatan kejinya padaku, malam itu. Segalanya baginya hanya keterpaksaan. Kepalaku pening jika membayangkan dosa itu. Aku seperti sampah sekarang di rumah ini. Sejak setahun lalu ku ikuti garis nasip, untuk tinggal menyemang di rumah mertua. Dan terasa ganjil, laki-laki yang menjadi suamiku itu segera pergi merantau setelah seminggu aku tinggal di rumah ini. Perih, sementara kandunganku telah menginjak bulan ke-6 waktu itu, hingga sekarang dia tidak pernah mau pulang untuk melihat anak kami.
Masa mengandung, yang bagi kebanyakan perempuan adalah masa terindah. Menjadi pusat cinta kasih suami, keluarga dan orang-orang terdekat. Namun sedikitpun manis itu tak terasa buatku. Jangankan keluarga, suamiku saja tak pernah sekedar menanya bagaimana keadaanku, mungkin dianggapnya aku ini sebagai sampah. Hingga akhirnya di tinggalnya aku tanpa alasan. Mungkin maksudnya dengan begitu aku akan menyerah dan pergi dari rumah mertuaku.
Perasaanku terhimpit kuat oleh pandangan miring, tetangga dan orang di kampung ini. Aku dipandang dengan wajah sinis, tanpa ampun tersirat rasa tidak senang mereka padaku. Di mata mereka mungkin . tak ubahnya aku seperti penderita penyakit menular lepra yang siap menjakiti mereka kapan saja bertemu.
Orang tua suamiku satu-satunya harapanku pun, tak jauh beda. Meski sekuat tenaga telah ku lakukan yang terbaik untuk menjaga posisiku sebagai orang yang menumpang. Ku ambil alih semua pekerjaan rumah, sehingga mereka tak perlu lagi mengupah orang untuk memasak, mencuci, dan menyetrika. Bahkan ketika air tak jalan, aku dengan ikhlas mengambil air di sumur belakang untuk kebutuhan mereka dengan keaadan perutku yang makin besar, namun tetap ku kuatkan hatiku waktu itu.
Aku seperti jatuh ke kubangan tanpa tepi, bertahan hidup semampuku. Sementara keluargaku telah menghapus namaku dari deret nama keluarga karena kejadian memalukan seumur hidupku itu. Aku terlempar ke sini, yang awalnya ku pikir bisa menggantikan posisi orang tuaku. Namun ternyata jauh panggang dari api, aku dan anakku di anggap bagai benalu di rumah ini. Tak sedikit sindiran yang harus ku tuai, buah dari kehidupan yang menumpang ini.
Siapa yang harus ku salahkan,? Mungkin aku dengan kelemahanku waktu itu, yang tak sempat berpikir bahwa diri ini perlu dijaga, bukan lengah dengan segala manja atas kemudahan-kemudahan yang selalu ku dapat dari orang tuaku. Tidak pernah aku berpikir bahwa tidak semua laki-laki itu berbudi luhur, dan laki-laki adalah juga manusia yang punya dua sisi baik dan buruk dalam kehidupannya. Mana yang dominan itu yang perlu kita tahu. Aku terbuai dengan mulut manis budi baiknya, namun ternyata itu tak ku dapat lagi setelah semuanya hancur.
Aku sendiri sekarang, aku terpuruk,,,menuai hasil perbuatan yang terjadi tanpa akal sehat itu, sementara suami yang ku harap menjadi tempat bergantungku, tak pulang-pulang.
Meski demikian tetap ku pancang kakiku untuk bisa bertahan menopang diri dan anakku tetap bertahan hidup. Ku ambil resiko menjadi kuli pengambil upah di sawah-sawah juragan di kampug ini. Pekerjaan yang tak pernah kubayangkan menjadi profesiku sekarang, selama ini orang tuaku memenuhiku dengan kelebihan yang membuatku tak sempat berpikir untuk hidup susah. Sempat terpikir olehku untuk pulang ke rumah orang tuaku, namun rasanya aku masih belum cukup nyali untuk melakukan itu.
‘ Asih, anakmu nangis lagi, kenapa sih anakmu itu kok hoby sekali rewel,,kamu didiknya gimana ?makanya punya anak itu jangan di manja jadinya ya begini ini’ lamunanku terbuyar karena mertuaku mengomel lagi.
“ iya ntar bu, masih belum kelar ini’. Bertumpuk-tumpuk pakaian yang harus ku jemur pagi ini, kumpulan dari hampir tiga hari pakaian orang rumah yang kemaren tak sempat tercuci; beberapa potong baju koko bapak, celana kolot, daster ibu, celana dan baju-baju kecil Arni yang berjubel memenuhi bejana besar cucian . ku gotong sekuatnya untuk mendekati jemuran di depan rumah, dan setelah ini aku harus kembali turun kesawah menanamkan padi pak woto sesuai janjiku kemaren.
“ Asih, anakmu...” setengah membentak suara mertuaku ku dengar keras sekali, coba tolong nina bobokan dulu pintaku dalam hati. Tapi itu tak mungkin, jangankan menina bobokan, untuk sekedar mengendong sayang pun tak pernah..seperti anak ku hanya anak gembel yang menumpang tanpa alasan di rumah ini..sementara beliau bisa bersifat lembut untuk cucu-cucu yang lain, kenapa tidak untuk anakku?
Tangisan anaku terdengar makin keras, dan tak tahan ku dengar tangisan itu. Ku tinggal saja, sisa cucian yang belun terjemur itu.
“ ma...ma...ma” mulai lamat-lamat suara anakku tambah pelan, ku temukan anakku jatuh dari ayunan. Mulutnya berbusa, matanya melotot menahan sakit tak terhingga, tubuhnya dingin dan kejang membiru. Ya Allah anakku, selama ku tinggal tadi ternyata tidak ada yang hirau, ibu mertuaku asyik dengan kain tenun kesukaannya yang tak pernah selesai dari dulu. Sementara bapak mertuaku, sibuk dengan burung piaraannya di halaman belakang.
Segera ku raih tubuh anakku yang meregang sakit tak terhingga, ku ambil kain panjang untuk menggendong anaku. Tanpa hirau lagi dengan apapun, segera ku bawa anakku ke puskesmas terdekat. Karena dia anakku, buah hatiku, apapun akan ku lakukan demi anakku. Dan tetap bertahannya aku di rumah mertuaku pun itu karena anakku, meskipun perlakuan mereka jauh dari apa yang ku harapkan. Aku bingung kalau tidak di rumah ini kemana lagi aku dan anaku harus berteduh.
‘ bu bagaimana anak saya’ ku cecar bidan asti dengan pertanyaan-pertanyaan cemasku. “Sebentar biar kita istirahatkan dulu di sini biar dia siuman. Kalau diagnosa awal saya, anak ibu epilepsi”. Coba kita lihat beberapa saat lagi, kalau masih belum siuman juga terpaksa kita rujuk kerumah sakit.
Sudah hampir tiga puluh menit ini, arni tidak juga siuman..aku panik, berbagai hal berjejal memenuhi otakku. Anakku harus sembuh, bagaimana kalau ternyata anakku harus di rawat atau bahkan...ah mungkin pikirku terlalu jauh, ku tatap wajah anakku yang kian pucat. Sepengatahuanku anakku memang menderita epilepsi seperti beberapa bulan yang lalupun juga mirip begini kejadiannya, namun syukurlah arni hanya perlu beberapa saat istirahat dan beberapa pantangn yang harus ku jaga waktu itu, serta cukup menebus ganti rugi obat generik yang di berikan bidan asti.
Namun saat ini, anakku belum siuman juga. Pikirku Mungkin dia tertidur gara-gara capek bergumul dengan penyakitnya itu.. wajah lelahnya, sayu dengan mata terpejam tanpa senyum. Panas badannya tak kunjung turun, sebentar-sebentar badannya kejang tanpa sebab. Ku pegangi tangannya erat, bidan asti belum juga datang.
Tiba-tiba, panas badan anakku meninggi. Tubuhnya mengejang, matanya terlihat putih, dan mulutnya berbusa.” Bu asti anakku tolong....” bidan asti yang baru saja datang dari rumahnya segera masuk. Dan akhirnya keputusan terakhir, arni harus di rujuk ke rumah sakit. Ku ikuti saja, usul bidan asti. Meski benak ku juga berputar tak karuan, ini hanya modal nekat. Aku hanya memegang uang 200 ribu, tabungan hasil kerjaku sebagai buruh tani di sawah juragan woto minggu lalu.
Apa yang harus aku lakukan, sempat ku minta pertimbangan mertuaku. Namun mereka dengan tenang bilang di rawat dirumah saja, aku tidak bisa bantu apa-apa, sementara ku minta alamat mas Gun, suamiku agar aku bisa bertitip pesan memintanya segera pulang. Namun nihil, jangankan pulang kabarnya saja aku tidakl tahu apakah pesanku sampai atau tidak.
Setengah bulan aku teraktung-katung tanpa boleh keluar dari rumah sakit sebelum pelunasan biaya. Aku tak mampu berbuat apa-apa, dalam keadaan demikian aku tidak sedikitpun bisa mencari tambahan biaya, bagaimana tidak aku anakku tidak yang bisa menggantikanku untuk menunggui Arni. Ingin rasanya aku mengadu pada orang tuaku, seandainya saja kesalahan ini tidak ada aku yakin orang tuaku tidak akan tega sedikitpun terdera nestapa setajam ini.
Namun Tuhan Maha Penyayang, akhirnya di bukakanNya mataku, di tengah keterpurukan itu. Jejak risalah sebagai orang tua itu tak berbekas, ketika di sana tertanam rasa tanggung jawab dan kasih yang tulus. Hingga bagiku bagai hujan di ketika kemarau, bundaku datang dengan senyumnya di tengah keterpurukanku. Bundaku yang berhati lembut, tetap menerimaku bahkan menjadi pemangkit semangatku saat tidak ada satupun yang mengindahkan aku.
Dan dari moment itulah, aku mulai menata hidupku kembali. Sedikit demi sedikit ku coba memperbaiki keadaan dengan keluarga terutama ayahku. Dan atas usul mereka pula ku lanjutkan pendidikanku, hingga bisa juga ku kecap bangku kuliah. Satu hal yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku bisa ku gapai. Orang tuaku adal;ah segalanya bagiku.
Mungkin ini jalan Tuhan, dengan ijazah sarjana ekonomi, berbasis manajemen, ku dapatkan satu posisi penting di sebuah bank bertarap nasional dengan waktu yang tidak terlalu lama. Hingga akhirnya bisa ku miliki rumah sendiri, beserta fasilitas yang tak terbayang olehku dulu ketika aku mengambil upah menanam benih padi sementara mertuaku orang terpandang di desa itu.
Hingga akhirnya pedih itu berangsur tipis, ujian terberat dalam hidupku. Meski begitu, tetaplah lembaran itu tak akan pernah ku kubur, karena lembar itu adalah satu halaman penting ysng bercerita tentang satu anak tangga kehidupanku hingga aku bisa berdiri tegak di atas kakiku sendiri, karena aku yakin aku bisa jika aku berusaha. Ku buktikan pada dunia, inilah aku perempuan yang dulu terjerat dosa sesaat tanpa tanggung jawab itu. Paling tidak dunia akan tahu bahwa aku lebih bertanggung jawab dari pada laki-laki biadab semacam mas Gun.
Ruang pertemuan sekolah Arni, saat ini seperti ruang pengadilan bagiku. Bagaiman tidak nanti akan tiba saatnya dimana aku harus menerima surat kelulusan untuknya. Ku coba lebih tenang sedikit demi sedikit menipiskan gugup yang ada, walaupun bagi bertemu orang-oarng yang lebih penting dari ini aku masih bisa santai namun saat ini berbeda rasanya. Bagiku saat ini segala ku pertaruhkan untuk arni.
Tahap demi tahap berlalu Hingga tiba saatnya nama anakku terpanggil paling awal...
“ di tetapkan sebagai pemilik nilai tertinggi sekolah dan sekaligus sekabupaten Tanah Laut, Arnia santi dari kelas III IPA 1” di persilahkan ke depan beserta wali’ dan untuk bapak kepala sekolah dengan hormat kami minta untuk menyerah sertifikat pengukuhan’ dari belakang barisan sekilas ku lihat kepala sekolah beranjak kedepan.
Aku mengambil surat kelulusan Arni kemudian masih di minta berdiri juga untuk mnerima sertifikat dari kepala sekolah, bagiku ada yang tak asing dari kepala sekolah ini. Wajah yang begitu familiar bagiku, tingginya, warna kulitnya, senyumnya yang terlihat demikian menawan, gaya berjalannya dan dia tersenyum padaku. Mataku panas ingin rasanya ku tampar wajahnya, ternyata dialah Gunawan effendi, mas Gun ternyata sampai sekarang tak pernah terpikir olehmu tentang kami.
Saat kami bersalaman, ku lihat ada kilat keterkejutan di matanya. Namun rasanya hatiku sudah terlalu beku dan bagiku sekarang tak perlu lagi pengakuannya dan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah yang delapan belas tahun sanggup menulikan teliga dengan jeritan kami. Terasa sekali tangannya bergetar, dan sadar tidak sadar terucap namaku di bibirnya.
Jelaslah dia tidak akan tahu sebelumnya bahwa arni adalah anaknya, karena dari dulu arni dalam kandungan pun dia tidak pernah mau tahu..kemudian saat melahirkanpun dia tidak datang dengan berbagai alasan. Saat kami terlanatar di rumah sakitpun, arni hampi mati saat itu sedikitpun dia tak bergeming. Aku tidak mengerti mengapa mas Gun begitu, kami di buangnya seperti bungkus rokok yang sering di hisapnya. Dan ku lewati momen itu dengan senyum formal yang hambar.
===
Dan di suatu malam setelah kejadian itu mas Gun datang ke rumah, dengan menunjukan wajah bersalah. Mungkin sekarang dia telah insaf, entahlah. Terucap niat baik untuk ikut menanggung biaya hidup kami, dengan syarat jangan pernah bicara di masyarakat bahwa aku adalah istrinya meski dulu hanya nikah siri, dia bilang dia tetap sayang padaku juga arni dan punya niat baik.
“selama ini, Arni tidak pernah tahu bahwa dia punya ayah mas, karena apa? Karena aku takut, dengan pertanyaannya ‘’ayah dimana dan kapan pulang’’ sementara mas tidak pernah datang padaku lagi sejak itu” apakah mas pikir mudah menghidupi anak selama delapan belas tahun sendirian.
Ketika arni hampir mati waktu itu, keluarga mas juga membuang aku. Ingin rasanya aku bunuh diri saja waktu itu’’ tapi ternyata Tuhan masih sayang padaku, dan dia tunjukan siapa yang menyayangi kami dengan tulus. Keluargaku yang telah malu bukan kepalang kerena perbuatanmu padaku waktu itu lah yang mengangkatku kembali. Hingga sekarang Mas dapat lihat kami bisa hidup dengan jalan kami sendiri. Dan aku tetap ingin menikmati hidup sendiri, Arni segalanya buatku Mas. Jangan coba membuka kembali luka lama dengan niat mengambil Arni dari aku. Kalau Mas merasa bersalah minta Maaflah pada Tuhan.
Dengan gontai di tinggalkannya rumah kami, namun tetap di mintanya aku agar berubah pikiran bahkan di tawarkannya untuk syahnya pernikahan kami yang lalu secara hukum. Namun perjuanganku selama ini bagiku terlalu murah harganya jika hanya di tawar dengan materi seharga itu. Karena ini masalah luka..