Kamis, 30 Desember 2010

Secerah mentari di dermaga

Aku tahu ini selalu berulang, dan akupun kerap patah

namun aku tidak ingin pasrah, jika boleh aku mohon sekali ini..

jadikan apa yang Engkau inginkan sesuai dengan apa yang ku harapkan.

Aku ingin melihatnya sekali lagi, aku juga ingin di sapanya sekali lagi,

dan aku ingin menikmati senyum itu meski juga sekali lagi..

Aku tidak mau patah karena ini, aku ingin selalu ceria

tetap tersenyum menikmati luka demi luka

kiliran harap meski tak kunjung sampai ketika aku mengejarnya

Gemerlap air sungai memantul lembut cahaya lampu malam, panorama yang ku anggap seperti sahabat, tersenyum sejuk ketika panas dunia mengelupas kulit kesabaranku. Ku tarik nafas sedalam-dalamnya, ku pejamkan mataku, ku bayangkan hamparan taman bunga sakura dengan merah muda berkilau putih lembut. Ku buka kembali mataku, indahnya tak berkurang, hatiku terbuka untuk menerima sisi keindahan dengan dimensi berbeda.

Dermaga fery di tepian sungai, yang membelah sisi utara kota ini. Hilir mudik perahu kecil dan jukung-jukung, berjualan sayur dan ikan basah menuju pusat pasar terapung, floating market. Matahari belum terlihat sempurna, udara masih segar sekali bercampur embun yang tersisa dari tadi malam. Inilah moment terindah yang demikian susah di cari pembandingnya sampai usiaku sekarang. Air pasang jernih,serupa cermin ajaib yang memantulkan wajah berseri waktu pagi.

Aku senang dengan keadaan pasang, tonggak-tonggak ulin di tepi sungai akan tersipu malu di selimuti air, ilung segar nan hijau akan bergerombol mengejar tonggak-tonggak itu. Gemerisik suara air beradu dengan tepian, di golak perahu motor pengunjung adalah harmony alam yang syahdu menggemuruhkan jiwa. Seperti bergemuruhnya jiwa dan jantung ini ketika aku menatap wajah teduh itu.

Menurutku dia adalah satu hal yang melengkapi indahnya aliran sungai ini selama aku bertugas di sini. Dekorasi yang di kirim Tuhan untuk menyemarakan dermaga ini, meskipun tidak bersinar seperti halnya mentari pagi namun cukup membuatku terhibur dan berpikir, mengapa dia begitu senang memandang ke depan, ke aliran tenangnya air. Sering ku lihat dia duduk di bangku panjang yang berhadapan langsung dengan wajah jernih muara, menyampingi dermaga fery dengan jubelan penumpangnya itu.

Lekat dipandangnya tiap perahu yang lewat, aku yakin dia tidak sengaja untuk menghitung berapa jumlah jukung dan perahu itu, namun ada sesuatu yang lain yang aku tidak tahu apa. Tajam bening matanya kadang terlihat mengerlip kemudian berair, dadanya turun naik, seperti menahan bongkahan sesal tak terperi. Pandangan tanpa makna, datar, dan absurd, ketika tak sengaja pertama kali aku berpapasan, ku lihat wajah dingin, tanpa hasrat, Mungkin dia merasa tak ada perlunya untuk sekedar menyapa, atau sedikit menyunggingkan senyum padaku.

Karena aku selalu standby 24 jam di tepian dermaga itu, pantaslah jika aku tahu berapa kali seminggu dia datang ke dermaga. Meskipun aku lupa hari-harinya, namun dia pasti datang kemari pagi hari, ketika matahari masih redup, seredup dan teduh tatapannya .

Dia masih sangat muda untuk dipanggil ibu, namun mungkin bisa saja pantas jika ada keponakan, dia akan di panggil tante. Menurut taksiranku antara 20-25 tahun usianya, untuk ukuran seorang perempuan, dia telah matang. Terlihat dari gayanya menggunakan kerudung rapih, elegan, pakaian yang dia pakaipun meskipun tidak bermerk namun dengan stelan itu dia berbeda dengan orang kebanyakan, dan nampaknya dia pandai menyelaraskannya dengan acsesories pelengkap sehingga nyaman sekali untuk dipandang.

Untuk ukuran perempuan secara fisik, dia memang dia tidak secantik Tamara bleziensky atau segemerlap KD. Namun aku pikir dia tetap punya sisi keperempuanan, yang bisa membuatnya tampak tetap saja anggun, meski dia membawa beban berat.

Suatu ketika, saat bisa ku ajak dia bicara, dengan alasan mempersilakannya mampir ke pos kami..baru bisa ku dengar suaranya, yang memang tidak indah namun yang jelas dapat kusimpulkan dari gaya bicaranya menunjukan dia seorang perempuan terdidik. Lembut, sopan, simpatik dan bisa memposisikan diri sebagaimana mestinya. Bicaranya seadanya dan secukupnya saja. Tidak terlihat ada semangatnya untuk berkelakar atau sedikit manja menggoda kami, seperti yang sering di lakukan perempuan- perempuan warung di sekitar dermaga. Penolakan halusnya membuatku makin paham, dia seorang perempuan yang pandai menjaga sikap, namun sempat juga akhirnya ku tengok namanya di guess list, Lailia santi

Dan dia pun kembali dengan tujuan awalnya menuju dermaga ini, “ menikmati air’ seperti yang pernah dia bilang padaku waktu itu. “Aku sangat menyukai air’’ ucapnya. Dan aku ingin menikmati hidup dan luka-luka ini dengan air” ku lirik matanya berkaca, segera dia berpaling, agar tidak ku lihat air matanya sampai jatuh..sampai ucapannya lenyap, sepi, dan tidak kudengar lagi.

Karena baginya hidup, berarti perjalanan panjang penuh onak memilukan,perih bahkan mungkin sempat berdarah. Yang membawanya pada fase hidup penuh apatisme pada siapapun, hampir sirnanya kepercayaan karena harapan yang selalu berujung pahit. Sulit baginya untuk percaya pada orang di depannya, pada secercah ketulusan yang baginya sudah tidak pernah di perbanyak lagi produksinya oleh Tuhan.

Menjalani hidup sendirian membuatnya terbiasa dengan kesendirian itu sendiri,sikap hidup yang tak percaya pada orang lain makin menjadi, hingga berpetualanglah dia dengan pikirannya sendiri, dan mengajak alam bercengkrama mesra dengannya, satu hal yang masih dipercayanya setelah Tuhan. inilah pelariannya, mengadu pada air. Senang cerianya akan dia bagi dengan senyum tulus pada air yang baginya selalu bisa menghargai, selalu ada ketika dia datang.

Mungkin tak pernah dia sadari sebanyak apa air matanya telah tumpah, ikut bercampur bersama deras gelombang sungai. Aku mulai mengenalnya, kebiasaannya. Kepahitan hidup yang tak bosan lepas dari sisinya, membangunkanku ternyata ada yang lebih menyakitkan dari apa yang ku rasakan.

Namun, sisi lain kehidupan sempat mengenalkan padaku satu strategy menghadapinya. Berat dan ringan beban kehidupan bergantung pada seberat dan seringan apa kita bisa menimbangnya. Main setting lah yang punya kuasa di sana, andai saja mudah bagi kita untuk membuat simple sebuah masalah mungkin, tingkat depresi akan bisa terkurangi.

Dan aku tidak berani katakan bahwa dia sedang mengalami depresi, namun pastinya sepemikiranku dia tak sempat untuk membuat rumusan untuk masalahnya. Shock dengan tiba-tiba saja datang masalah, terasa diri paling tidak berguna, terpuruk, lemah dan tanpa ampun memandang diri jauh dari keramain masalah orang lain yang mungkin saja jauh lebih menyakitkan.

Terakhir kali aku berbincang dengannya...aku tersenyum, bahkan ingin sekali rasanya aku tertawa. Karena aku merasa menang, dari pertarunganku dengannnya, karena selama ini dia sempat mengangap aku kapal yang tak peduli dengan tujuan penumpangnya. Sungguh apatisme akut telah menggerogoti rasio seorang perempuan terdidik seperti dia. Kadang terfikir olehku tentang kebenaran teori, penggunaan rasio antara laki-laki dan perempuan yang katanya berbanding terbalik, mungkin selama ini teori itu telah merasuk secara tidak sadar, atau mungkin juga karena dia terlena dengan keperempuanannya; berpacu dengan landasan 20% logika dan 80% perasaan yang selama ini menabiri pemikiran sehatnya.

Pada akhirnya dia terbangun dari tidur panjang dengan mimpi buruk itu , seperti mimpi ngeri anak 5 tahun yang sedang kena demam tinggi, perasaan jatuh ke goa tanpa limit. Perasaan terpuruk yang terbit karena kekasihnya yang pergi jauh tanpa pesan, terpuruk di antara benci, sesal, cinta, dan asa yang masih tersisa. Inilah puncaknya yang membuat aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Perempuan setangguh dia, ternyata mau kalah dengan cerita roman picisan yang sering ku dapati di cerita teenlite adikku. Dan akhirnya dia terbangunkan, sadar akan kehidupannya yang masih panjang itu.

Hari itu dia tersenyum, merekah seperti kuntum-kuntum melati yang baru tersiram hujan. Tidak pernah ku lihat dia sebening itu, dan diapun berani menatapku dengan senyum, senyum yang selama ini sempat dia lupakan. Tak bisa ku artikan apapun dari senyum itu, hari itu dia betah berlama-lama berbincang denganku. Dan aku pun mulai melayang seperti spiderman yang baru saja menolong merry zein.

Sebulan yang lalu aku yang takut, jangan-jangan karena ini virus apatisme itu migrasi kepadaku, karena senyum itu adalah senyum yang terakhir ku lihat. Senyum terindah, seperti mentari waktu pagi di ujung dermaga ini. Dia tak datang lagi ke dermaga ini pada saat yang ku minta...namun malam ini dia bersamaku. Tenang tanpa beban karena sekarang tak ada yang lain yang di nantinya selain aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar